Sejarah dan Cara Translate Latin ke Aksara Sunda

 Sejarah dan Perkembangan Aksara Sunda

Sebagai keliru satu kebudayaan yang telah berusia cukup lama—secara historis lebih dari 16 abad yang lalu—kebudayaan Sunda memiliki kekayaan peninggalan kebudayaan berbentuk benda-benda bertulis, seperti prasasti, piagam, serta naskah kuno yang cukup banyak. Hal ini menyatakan kesaksian terdapatnya kecakapan formalitas tulis-menulis di kalangan masyarakat Sunda. Kenyataan selanjutnya sekaligus menyatakan terdapatnya kesadaran yang tinggi dari para pendahulu masyarakat Sunda tetang pentingnya penyampaian Info hasil ketajaman wawasan, pikiran, dan perasaan mereka berbentuk gagasan atau ide-ide yang mereka rekam lewat sarana bhs dan aksara terhadap tiap-tiap kurun pas yang dilaluinya translate aksara sunda .

Kecakapan masyarakat dalam tulis-menulis di wilayah Sunda telah diketahui keberadaannya sejak sekitar abad ke-5 Masehi, terhadap era Kerajaan Tarumanagara. Hal itu terlihat terhadap prasasti-prasasti dari zaman itu yang lebih dari satu besar telah dibicarakan oleh Kern (1917) dalam buku yang berjudul Versvreide Geschriften; Inschripties van den Indichen Archipel. Karya selanjutnya berisi cukup lengkap data-data inskripsi dan facsimile disertai peta arkeologis yang cukup jelas.

Selanjutnya baru sekitar zaman Kerajaan Sunda (masa Pakuan Pajajaran-Galuh, abad ke-8 sampai bersama dengan abad ke-16), tak sekedar ditemukan peninggalan yang berbentuk prasasti dan piagam (Geger Hanjuang, Sanghyang Tapak, Kawali, Batutulis, dan Kebantenan), termasuk telah ditemukan peninggalan yang berbentuk naskah (berbahan lontar, nipah, kelapa, dan bilahan bambu) dalam kuantitas yang cukup banyak dan berasal dari bermacam daerah di wilayah Jawa Barat atau Tatar Sunda. Naskah-naskah tertua yang ditemukan dari wilayah Tatar Sunda ini berasal dari sekitar abad ke-14 sampai abad ke-16 Masehi. Naskah-naskah dimaksud yang telah digarap dan dipelajari sampai pas ini, pada lain Carita Parahyangan, Fragmen Carita Parahyangan, Carita Ratu Pakuan, Kisah Perjalanan Bujangga Manik, Kisah Sri Ajnyana, Kisah Purnawijaya, Sanghyang Siksakanda Ng Karesian, Sanghyang Raga Déwata, Sanghyang Hayu, Pantun Ramayana, Serat Déwabuda, Serat Buwana Pitu, Serat Catur Bumi, Séwaka Darma, Amanat Galunggung, Darmajati, Jatiniskala, dan Kawih Paningkes.

Penemuan naskah-naskah Sunda setelah itu sampai abad ke-20 telah dicatat dalam lebih dari satu laporan berbentuk buku katalog naskah yang dilaksanakan oleh Juynboll (1899, 1912), Poerbatjaraka (1933), Pigeaud (1967-1968, 1970), Sutaarga (1973), Ekadjati dkk. (1988), Viviane Sukanda-Tessier & Hasan Muarif Ambary (1990), dan Ekadjati & Undang A. Darsa (1999). Naskah-naskah Sunda yang telah dicatat dan diinvetarisasi selanjutnya kini tersimpan dalam koleksi museum atau perpustakaan yang dibangun oleh pemerintah maupun swasta, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Namun demikian tidak sedikit naskah-naskah yang masih tersebar di kalangan masyarakat secara perseorangan yang sampai kini belum terinventarisasi.

Tipologi Aksara Sunda

Aksara Sunda Kuno memiliki jenis basic aksara Pallawa Lanjut. Aksara selanjutnya memiliki kemiripan bersama dengan jenis aksara Tibet dan Punyab (band. Holle, 1877), bersama dengan lebih dari satu ciri tipologi dari pengaruh jenis aksara prasasti-prasasti zaman Tarumanagara, sebelum saat menggapai taraf modifikasi bentuk khasnya. Hal ini nampak sebagaimana yang digunakan dalam prasasti-prasasti dan naskah-naskah Sunda Kuno berbahan lontar dan bambu abad ke-14 sampai abad ke-18 Masehi.

Dalam terhadap itu, jenis aksara yang digunakan terhadap prasasti-prasasti dan piagam zaman Kerajaan Sunda, baik dari periode Kawali-Galuh maupun periode Pakuan-Pajajaran sanggup berikan gambaran tentang jenis aksara Sunda Kuno yang paling awal. Prasasti-prasasti yang dimaksud adalah prasasti yang terdapat di kompleks Kabuyutan Astanagedé, Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis yang dibikin terhadap sekitar era peperintahan Prabu Niskalawastu Kancana (1365-1478), dan prasasti Batutulis Bogor (1533) serta piagam Kebantenan Bekasi yang dibikin sesudah era pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521).

Prasasti-prasasti Kawali ini sanggup digolongkan ke dalam jenis piteket, yaitu berisi pengumuman langsung dari raja yang memerintah membuat prasasti, tetapi prasasti Batutulis dan piagam Kebantenan termasuk ke dalam jenis sakakala, prasasti yang dibikin untuk mengabadikan perintah atau jasa seseorang (raja) yang telah wafat.

Urutan abjad aksara Sunda Kuno berbunyi kaganga cajanya tadana pabama yarala wasaha, jadi tersedia 18 buah aksara pokok ngalagena dilengkapi 7 buah aksara swara (a, é, i, o, u, e, dan eu). Susunan bunyi aksara kaganga seperti ini mirip bersama dengan susunan bunyi aksara di wilayah Sumatera, termasuk aksara Jawa Kuno. Di tanah air kita, Indonesia, tersedia sekitar 12 jenis aksara daerah, yaitu aksara-aksara: Bali, Batak, Bengkulu, Bima, Bugis, Jawa, Komering, Lampung, Makasar, Pasemah, Rejang, dan Sunda.

Perlu dikemukakan bahwa aksara Sunda Kuno, tak sekedar dipakai untuk merekam bhs Sunda Kuno termasuk dulu digunakan untuk menuliskan bhs Arab dan bhs Jawa (Cirebon) berkaitan bersama dengan sistem pengembangan syiar Islam di Tarar Sunda.

Berdasarkan bukti-bukti yang ditunjukkan terhadap gambaran terdahulu, aksara Sunda yang dulu digunakan itu sanggup dibedakan atas lebih dari satu varian sesuai bersama dengan aneka ragam bahan tulis yang dipakai (batu, logam, daun, kertas, pahat, palu, pisau, pena, tinta, dll). Cara penulisannya berbentuk individual. Rentang pas pemakaiannya terjadi lama (sekitar 400 tahun). Lingkup wilayah pemakaiannya cukup luas (hampir semua Jawa Barat). Bentuk dan kelengkapan ejaan aksara Sunda yang ditulis terhadap batu dan logam (prasasti/piagam) menyatakan lebih dari satu variasi bersama dengan aksara Sunda yang ditulis terhadap daun (naskah).

Dengan kata lain, bentuk aksara yang digores terhadap daun bersama dengan pakai alat tulis pisau (péso pangot) memiliki variasi bersama dengan yang pakai alat tulis pena dan tinta. Begitu pula bentuk aksara dan ejaannya yang ditulis terhadap abad ke-14 Masehi (prasasti Kawali) memiliki variasi bersama dengan yang ditulis terhadap abad ke-16 Masehi (Carita Parahyangan, Carita Ratu Pakuan, dsb.). Namun demikian, secara lazim lambang-lambang aksara Sunda Kuno sanggup disusun ke dalam grup aksara swara, aksara ngalagena, aksara khusus, rarangkén, dan pasangan.

Standardisasi Aksara Sunda

Masyarakat Jawa Barat (Tatar Sunda) dulu pakai sejumlah aksara. Hal itu artinya bahwa sejak lama (sekitar 16 abad silam) masyarakat yang tinggal di wilayah ini termasuk grup masyarakat yang beraksara. Untuk menentukan satu dari jenis-jenis aksara yang dulu digunakan itu maka dibutuhkan lebih dari satu persyaratan yang meliputi (a) pemanfaatan aksara untuk merekam bhs Sunda; (b) rentang pas pemakaian; (c) luas wilayah pemakaian; (d) kesederhanaan bentuk sehingga mudah ditiru; dan (e) barangkali untuk dijadikan sebagai salahsatu lambang jatidiri orang Sunda.

Dalam usaha melestarikan dan mengembangkan identitas serta kebanggaan masyarakat Jawa Barat terhadap kebudayaannya sendiri, Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 th. 1996 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda. Perda Nomor 6 th. 1996 dilatarbelakangi oleh Keputusan Presiden No. 082/B/1991 tanggal 24 Juli 1991.

Dalam rangka menindaklanjuti perda tersebut, maka terhadap hari Selasa tanggal 21 Oktober 1997 bertempat di Aula Pusat Studi Bahasa Jepang (PSBJ) Kampus Fakultas Sastra Unpad Jatinangor, diadakan Lokakarya Aksara Sunda yang diikuti oleh utusan bermacam elemen masyarakat dari kabupaten/kota di wilayah Jawa Barat. Lokakarya selanjutnya diadakan atas kerjasama Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat bersama dengan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Selanjutnya tentang keberadaan dan fungsi aksara Sunda dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa Barat, kebanyakan masyarakat Sunda, dewasa ini dan era datang dikukuhkan dan disyahkan bersama dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 434/SK.614-Dis.PK/99 tentang Pembakuan Aksara Sunda. Adapun Perda no 6 th. 1996 selanjutnya kini telah sesuai kembali bersama dengan suasana dan suasana pas ini jadi “Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003” Tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah yang diikuti bersama dengan panduan pelaksanaan dalam SK Gubernur Jawa Barat Nomer 3 Taun 2004.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Mencari Penginapan Murah Jogja Bagi Traveler Pemula

Cara Membasmi Rayap Di Atap Rumah Secara Cepat dan Super Ampuh

Nih, 5 Tips Sukses Jualan Online